Shalom teman-teman, sebelum
masuk ke ceritaku dan membagikannya pada kalian, kalian perlu tahu seperti apa
diriku. Aku adalah anak perfectionist. Selama 12 tahun sekolah, aku
berusaha mendapatkan nilai yang terbaik. Apalagi semenjak aku bertemu Tuhan,
aku ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan. Aku belajar hingga jam 12 malam,
bahkan jam 2 pagi. Kerja tugas, aku berusaha berinovasi menjadi yang paling unik
dan kreatif. Tidak lupa tugas itu aku cek berulang kali, siapa tahu ada
kesalahan. Hingga mottoku adalah Work Hard feat God will never fail.
Aku juga ingin
membuktikan bahwa aku bisa berhasil tanpa melakukan kecurangan, karena Tuhan
besertaku. Aku menolak keras menyontek. Aku menegur teman yang menyontek. Aku
memberi ceramah kecil kepada mereka. Bahkan aku menghindari menyandung
teman-temanku. Melakukan hal itu tidak membuat prestasiku menurun tetapi
membuat diriku selalu mendapat ranking, bahkan tiga besar. Beberapa
kali teman-temanku konsultasi atau bertanya bagaimana aku bisa melakukannya.
Tidak jarang mereka bilang “Ya iya Tiff, kamu pintar, menolak menyontek bukan
hal yang susah”, namun bagiku mereka salah karena selama ini aku juga bersusah
payah belajar dan berdoa, bukan hanya modal kepintaran.
Ternyata akulah yang
salah. Berjalannya waktu aku sampai di kelas 12. Guru-guru mengajar semakin
cepat, deadline semakin mepet, ulangan dan tugas berjejer
saling bergantian. Tryout dan
simulasi ikut mengisi hari-hariku. Disinilah aku mulai menyadari, bahwa aku
salah. Ya, bahwa temanku benar. Yeah, work hard feat God sometimes will
be fail (di mata manusia).
Aku menyadari menjadi
anak terang itu sangat susah. Tugas dan ulangan semakin tidak masuk akal, serta
waktu yang tidak banyak membuat diriku dan teman-temanku tidak begitu mantap
dengan materi yang diajarkan. Mungkin kalian belum memahami, biarkan aku
memberi contoh.
Saat ulangan, kami
dibiarkan duduk bebas, otomatis anak-anak akan duduk dekat teman dekatnya. Dari
mereka yang kelihatanannya diam hingga mereka yang ramai, semua menyontek
karena mereka merasa aman di dekat temannya. Selama ini aku berusaha menegur
mereka yang menyontek. Selama ini aku berusaha tutup telinga jika ada yang
membisikan sesuatu. Namun.. bagaimana mungkin aku dapat menegur mereka semua?
Bagaiamana mungkin aku yang tidak mantap dengan materi itu dapat mengalahkan
kerja sama satu kelas? Lalu bagaimana mungkin, kami diberi tugas mendengarkan
lagu bahasa inggris dua kali dan menulis liriknya. Mungkin itu hal terdengar
mudah, tapi tidak mudah jika 95% anak kelas searching dan melihatnya di internet. Bagaimana
mungkin aku yang tidak terbiasa mendengar bahasa inggris ini mampu mengalahkan
ketepatan internet?
Aku kecewa berat, aku under pressure, dan aku marah. Aku
berusaha mati-matian menjunjung tinggi kebenaran di sekolah, tapi kenapa begitu
susah mencapai yang aku inginkan? Aku tidak menyontek, tapi kenapa mereka yang
menyontek justru diberi kesuksesan? Aku tidak berkata kasar, tapi kenapa mereka
yang berkata kasar justru tidak dikucilkan? Aku menegur temanku yang menyontek
tapi kenapa orang lain lebih mendukung yang mereka yang menyontek? Bukankah itu
tidak adil? Bukankah itu paradoks? Mungkin bagi kalian itu hal sepele, hal
kecil, tapi bagi aku seorang yang perfectionist,
itu sangat menekan.
Di satu titik aku
ingin protes sama Tuhan, aku menangis dihadapan-Nya. Tetapi, semenit sebelum
aku protes, aku sadar siapakah aku hingga berniat protes? Siapakah Dia hingga
aku berani protes? Betapa stressnya aku hingga tidak dapat berpikir jernih dan
sempat berniat protes pada-Nya. Apakah aku mau marah karena aku dikucilkan?
Ah, mungkin aku lupa
bagaimana Dia dihina, difitnah, bahkan diludahi. Apakah aku mau marah karena
aku sudah cukup suci untuk marah? Ah, mungkin aku lupa dari mana aku berasal,
dan siapa yang menyelamatkan aku. Apakah aku mau marah karena aku tidak
mendapat yang setimpal? Ah, mungkin aku juga lupa bahwa anugrah keselamatan itu
sudah aku dapatkan dengan sia-sia. Aku menangis sejadi-jadinya dihadapan-Nya.
Bisa-bisanya aku mau marah pada Dia yang merasakan beban lebih parah dari pada
aku? Bisa-bisanya aku mau protes pada yang seharusnya protes pada aku? Dan aku
bisa mau protes pada Dia yang selama ini mencukupkan aku?
Bersyukur sebelum
protes aku telah disadarkan. Sadar akan siapa penciptaku, sadar akan anugrah
keselamatan yang aku dapatkan, sadar akan penyertaan dan bimbingan yang selama
ini aku terima, dan sadar akan seluruh talenta yang Dia percayakan padaku.
Belum ada ending
bahagia di kisahku. Bahkan jika kalian tahu Ujian Nasional 2018 (tahunku)
adalah Ujian Nasional tersusah, kalian bisa search
itu (sejauh ini). Aku tetap merasakan ketidakadilan, karena temanku mendapat
paket yang lebih mudah dari pada aku. Aku tetap merasa under-pressure karena aku tidak bisa mencapai targetku.
Tapi aku belajar bahwa
aku baru memulai di kehidupan nyata, kehidupan di mana menjadi anak terang itu
saaangaatt susah. Aku belajar bahwa tidak selamanya rencana kita sesuai dengan
rencana Tuhan. Tapi aku percaya, rencana Tuhan adalah rencana yang indah.
Kalau saja, maut dapat
dikalahkan-Nya, apalah arti masalah sepeleku ini? Kalau saja, Dia mau
menyelamatkan aku dari maut, bagaimana mungkin Bapaku itu mau menenggelamkan
aku tanpa pertolongan?
Aku tidak tahu apa
yang Saudara alami, aku tidak tahu pergumulan apa yang ingin Anda protes.
Namun, satu hal yang aku tahu, seorang Bapa tidak akan memberikan ular pada
anaknya yang minta ikan. Seorang bapa tidak akan memberikan kalajengking pada
anak-Nya yang minta telur. Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian
yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!. (Tiffany)
0 comments:
Post a Comment